Saturday, January 30, 2010

..kisah lalat dan semut..

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta di atas sebuah tong sampah di depan sebuah rumah. Suatu ketika, anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah. Kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lazat.

"Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar," katanya. Setelah kenyang, si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik, demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang, si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan.

Esok paginya, nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai. Tak jauh dari tempat itu, nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan, seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua, "Ada apa dengan lalat ini, Pak? Mengapa dia sekarat?" "Oh.., itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini. Sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu. Namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita.

" Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi, "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?"

Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab, "Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama." Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya, namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius, "Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini."

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda."

Sunday, January 24, 2010

..bermain bersama akhawat..


Salam 'alaik..
tanggal 22 januari 2010..kami bersama akhawat k-um beriadhah ke mid valley..main apa? bowling! yeay! hehe..alhamdulillah, sebab suka sgt main..antara tujuannya mestila nak rapatkan ukhuwah antara sesama usrah, antara usrah lain dan macam2 lagi..semoga hari tersebut menjadi kenangan bagi kami semua..


Tempat kejadian: Cosmic Bowl. tingkat 3, Mid Valley

Kasut yang digunakan: Saiz 5

Pengisian bermakna oleh Kak Tik

Result Group 1: Lane 15

Result Group saya: Lane 16..jaja, bukan hajar kt bwh tu..kebetulan nama sama


Antara yang terlibat dalam menjayakan rancangan ini..hehe

Usrahmate yang tersayang...

Semoga ukhuwah ni kekal ke syurga..
Wallahualam~

Wednesday, January 20, 2010

..gimana mau mujahadah??..

"Akhi, dulu ana merasa semangat saat-saat aktif dalam dakwah. Tapi, kebelakangan ini rasanya semakin terasa hambar. Ukhuwah makin kering-kontang, bahkan ana melihat ternyata banyak ikhwah pula yang aneh dan pelik!"

Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam. Sang murabbi hanya terdiam, mencuba terus menggali semua kegelisahan dalam diri mad'unya.

"Lalu apa yang ingin anta lakukan setelah merasakan semua itu?" Sahut sang murrabi setelah sesaat termenung seketika.

"Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku dan sikap beberapa ikhwah yang tidak Islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Jika terus begini, lebih baik ana bersendiri saja." Ikhwah itu berkata.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak kelihatan raut terkejut daripada wajahnya. Sorot matanya tetap kelihatan tenang, seakan jawapan itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila satu kali anta naik sebuah kapal mengharungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah rosak. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang reput, bahkan kabinnya penuh dengan sampah bauan kotoran akibat manusia. Lalu apa yang anta lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" Tanya seorang murabbi dengan kiasan yang mendalam maknanya.

Sang mad'u terdiam berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam dengan kiasan yang amat tepat.

"Apakah anta memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" Sang murabbi mencuba memberi jawapan kepadanya.

"Bila anta terjun ke laut, sesaat anta akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan anta untuk berenang sampai tujuan? Bagaimana bila ribut datang? Dari mana anta mendapat makan dan minum? Bila malam datang bagaimana anta mengatasi hawa dingin?"

Serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang ikhwah tersebut. Tidak semena-mena, sang ikhwah menangis tersedu-sedu. Tak kuasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kekadang memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justeru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.


"Akhi, apakah anta masih merasa bahawa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju redha ALLAH SWT?"

Pertanyaan yang menghujam jiwa sang ikhwah. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila ternyata kereta yang anta bawa dalam menempuh jalan itu ternyata rosak dan bermasalah? Anta akan berjalan kaki meninggalkan kereta itu tersadai di tepi jalan atau mencuba memperbaikinya?" Tanya sang murabbi lagi.

Sang ikhwah tetap terdiam dalam esakan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya.

"Cukup akhi, cukup. Ana sedar. Maafkan ana, InsyaALLAH ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat pingat kehormatan atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan. Atau ana mendapat nama di sisi manusia. Biarlah yang lain dengan urusan peribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah dan hanya Allah swt sahaja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-NYA. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana."

Sang mad'u berazam di hadapan sang murabbi yang semakin dihormatinya. Sang murabbi tersenyum.

"Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan dan kekurangan. Tapi di sebalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah peribadi-peribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan ALLAH SWT."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu meresahkan perasaan anta. Sebagaimana ALLAH SWT menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata anta dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Kerena di mata ALLAH SWT, belum tentu antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur lemah atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidakkesepakatan selalu diselesaikan dengan jalan itu; maka apakah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" Sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekadar pemerhati yang hanya berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding jari kerana sesuatu kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun boleh melakukannya. Tapi kita adalah dai'e. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diberi amanat oleh Allah swt untuk menyelesaikan masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya membongkarnya, yang menjadikan ia semakin meruncing dan membarah."

Sang mad'u termenung sampai merenungi setiap kalimat murabbinya. Azamnya kembali menguat. Namun ada satu hal yang tetap bergelayut di hatinya.

"Tapi bagaimana ana boleh memperbaiki organisasi dakwah dengan kemampuan ana yang lemah ini?"

Sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa kata kemampuan anta lemah? Apakah Allah swt menjadikan begitu kepada anta? Semua manusia punya potensi yang berbeza. Namun tak ada yang mampu melihat bahawa yang satu lebih baik dari yang lain!" Sahut sang murabbi.

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah kerjasama dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang pada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu kerana peringatan selalu berguna bagi orang yang beriman. Bila ada sebuah isu atau fitnah, tutuplah telinga anta dan bertaubatlah. Singkirkan segala prasangka anta terhadap saudara anta sendiri."


Malam itu sang mad'u menyedari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap hidup bersama jama'ah untuk tetap mengharungi jalan dakwah dan tarbiyah. Kembalikan semangat itu saudaraku, jangan biarkan putus asa itu hilang, ditelan gersangnya debu yang menerpa. Biarlah itu semua menjadi saksi sampai kita diberi dua kebaikan oleh ALLAH SWT.

..pandangan Syed Naquib al-Attas mengenai isu nama Allah..

On December 13, 2009, during the Worldview of Islam Seminar organized by the Assembly of Muslim Intellectuals or Himpunan Keilmuan Muda (HAKIM), there was a question being posted to Professor Al-Attas regarding the polemical usage of the word "Allah" by the non-Muslims.

Below is the transcript of his brief-but-yet-concise enlightening remarks. As a word of caution, though, one must not only rely on this brief transcript alone to understand the whole spectrum of Prof. Al-Attas' view about this theological matter. Further thorough elucidation of his thought can be found in numerous works of this great Muslim scholar of this age, such as Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu and A Commentary on Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri.

Prof. Wan Mohd Nor and Prof. Al-Attas during the special lecture in the seminar last year.



Question: The using of kalimah “Allah” by other people in this country
Answers by Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas:

Well I have been talking about this long time ago. I remember about this in ISTAC, when we first established ourselves (late 80’s and early 90’s), I think the Arcbishop of Penang was asking this question. And I have answered that.

And then we had a meeting with the Archbishop of Kuala Lumpur and about all the representatives of Christianity, including the ministers, we had a meeting at ISTAC.

And I said, “Why you want to use the word ‘Allah’ for yourself?”

They said “we going to pray in Bahasa Malaysia”

That’s the way they put it. So my answers to them, “Why you have to change praying into Bahasa Malaysia. You have been praying in English all the time. Why suddenly change into Bahasa Malaysia?”

Ok, so they said they want to change so that it more patriotic. Then in that case I’m saying that “why don’t you use Tuhan while praying in Bahasa Malaysia? Because you are talking about God isn’t it?…God is not just a name…”Allah” is a name of this Being whom you called God… and in fact a Being whom even higher than what you called to be God”

And then I said, “ …and “Allah” is not from Bahasa Malaysia. It is not a national language. It belongs to the language of Muslim all over the world. Therefore your argument using this for the word “Allah” does not fit into your idea of God. Because “Allah” does not have a son, It is not one of three (Trinity), that is why out of respect to Allah we can’t allow you to use this.“

But when we Muslim, when we write in English we say God, or when we talk to people we say God but we mean “Allah”…but they cannot say when they speak about God it means “Allah” as they don’t mean it.

So in this particular respect, we have to be clear about this, not was-was (hesitate)...whomever responsible in our governing, they have to be clear about this and to explain to others.

We agree you want to use God, then use Tuhan as we also use that…but we understand in the Malay language that Tuhan is not a translation of Allah..that is why we say “tiada Tuhan melainkan Allah” not “tiada Tuhan melainkan Tuhan”. We don’t say “there is not God but God”..at least the ulama’ among the Muslim Malays, we understand what is the meaning of that (word “Allah”).

So “Allah” cannot be translated as no language has translated Allah. The Arabs themselves they only use that after Islam..although the word existed (before)..the Christians Arab they also did not use Allah (in theological, epistemological and ontological sense in the same manner as the Muslim)..if they say that it is just a language..they talking about language..because they say “Allah” like the Muslim when they (melatah)…

So it appears they want to do that in order to confuse the Muslim into thinking that all the same..that is why I say one of the problems about religion is the nature of God..about who Allah is..that is why in Arkanul Iman (The Pillars of Faith), the first thing is “amana billah”.

“Who is this Allah?” and that need to be explain at higher institution in a proper way…

So we have answer the question. It is not proper to allow them using this, since they asking us and there is no point bringing this to court since this is not a matter of court to decide it whether they have the freedom to use it or not. It is up to the Muslims.

But then if they used it and said “in Indonesia they have use it, why can’t we?”…but it is because of the Muslims..if Muslims don’t care they will go on and use it..and in Indonesia they are using not only that, other things they even call it “choir” as “selawat”. Choir is not a “selawat”, as “selawat” is for Prophet..it’s not singing hymn..

And they also talk about..in Indonesia they are also confuse..Muslims..that is why this thing happen. Sometimes the language when you come across English words like “Prophet of Doom” in Indonesia they said “Nabi celaka”. How can there be “Nabi celaka”? What is meant by the “Prophet of Doom” is…even the word Prophet in English does not mean “Nabi” only…it means “yang meramalkan malapetaka”..that what it means…so the “Prophet of Doom” means “yang meramalkan malapetaka”, not “Nabi celaka”.

They (the Muslims in Indonesia) seem not to bother about this. What we can say is that ultimately well they say “God is not Allah”...well if you want to use the word God, we are saying we also use the word God, we refer to Allah as we know and we are not saying that your God ultimately will not refer to Allah. You can’t run away from Allah. You can only escape Him and so in the Qur’an (surah An-Naas) says: “Qul aAAoothu birabbi annas, Maliki annas, Ilahi annas”. He (Allah) is saying “ I am the real Ilah (God) of naas (mankind)”, although mankind (non-Muslim) does not interpret it that way.

My comments:
Macam-macam pandangan yang kite baca..sesetengah mengatakan boleh, setengah lagi bersungguh-sungguh menentangnya..namun kita sendiri bagaimana? Walaupun sedikit sebanyak ia membabitkan politik, namun itu bukan yang utama..ini bukan soal memenangkan mana-mana pihak..ini juga bukan isu kepentingan sendiri..ini isu AGAMA Islam yang kita cintai..lihatlah, kelalaian umat Islam sendiri yang menyebabkan berlakunya isu seperti ini..persoalannya, adakah kita cukup sensitif dengan isu ini ataupun sekadar baca sekali lalu??..tepuk dada tanya Iman..disini, kita dapat lihat nilai Iman kita dimana..wallhualam..sekadar pandangan..